WHAT'S NEW?
Loading...

TERTIPU OLEH KEPINTARAN


Resonansi Jiwa ==> sahabat resonansi jiwa ternyata pernikahan tidak hanya bermodal berani, namun dibutuhkan juga namanya ilmu, untuk menjalani bahtera rumah tangga, ilmu juga bukan sembarang ilmu, Namun ilmu adalah yang menimbulkan rasa takut kepada Allaah . . .

Ilmu yang harus dimiliki dalam berkeluarga dan dalam kehidupan.

Ada Kisah seorang ikhwah.. Yang amat mencintai istrinya. . Namun istrinya tak mencintainya...
Ia mengharapkan lelaki lain... Yang lebih darinya.. .

Wanita itu telah pandai Bahasa Arab. . Sementara suaminya. . Hanya memahami Bahasa Indonesia.

Wanita itu telah lama mengaji... Sementara suaminya...
Sibuk membanting tulang mencari nafkah. . Tuk membahagiakan kekasihnya. .

Wanita itu telah banyak menghafal al- Qur'an... Sementara suaminya tak banyak bisa menghafal. .

Mungkin. . Kini suaminya sudah tak berharga di matanya. . Mungkin. . Kini cintanya telah pudar di hatinya. . Karena tak sesuai harapannya. .

Demikianlah. . Kisah cinta yang bertepuk sebelah... Karena istrinya tertipu oleh kepintarannya. .

Ilmu tak membuatnya semakin sayang pada suaminya. .

Ilmu tak membuatnya semakin berbakti kepada suaminya. .

Ilmu membuatnya angkuh. . Tak ada lagi cinta dihatiku, kilahnya. .

Saudariku...

Engkau boleh lebih berilmu dari suamimu. . Tapi mungkin suamimu lebih takut kepada Allaah darimu. .

Engkau boleh punya banyak kelebihan di atas suamimu. . Tapi, suamimu. . Mungkin lebih dicintai oleh Robbmu karena ketawadhu'annya. .

Al Hasan Al Bashri rohimahullaah berkata. . .
Ilmu itu bukanlah dengan banyak menghafal riwayat. . Namun ilmu adalah yang menimbulkan rasa takut kepada Allaah. . .

Dimanakah hadits yang telah engkau hafal, "Suamimu adalah Surgamu atau Nerakamu.."

Ya Robb. . Berilah kami ilmu yang bermanfaat... Aamiin.....

Oleh Ustadz Abu Yahya Badru Salam, Lc

tertipu oleh kepintaran
Keluarga Idaman


MEMBENTUK DAN MEMBINA KELUARGA IDAMAN

Muqaddimah

Perkembangan jaman dan kemajuan teknologi sekarang ini semakin mengkhawatirkan bagi para orangtua yang peduli dan berpikir pada keselamatan keluarga dan anak-anak mereka di masa depan. Betapa orangtua jaman ini dituntut lebih keras berusaha menjadikan anak-anak agar siap menghadapi masa depannya.

Mendidik dan mengajar anak bukan hal yang mudah, bukan pekerjaan yang dapat dilakukan serampangan, bukan pula hal yang bersifat sampingan. Mendidik dan mengajar anak sama kedudukannya dengan kebutuhan pokok dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Bahkan mendidik anak merupakan tugas yang harus dan mesti dilakukan oleh setiap orangtua, karena perintah ini datang dari Allah. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS al-Tahrîm [66]: 6).

Kondisi jaman saat ini yang semakin menggeser norma dan kesusilaan pada posisi yang tidak lagi diperhatikan oleh kebanyakan orang dapat mengancam kehidupan terutama generasi muda dan anak-anak kita. Kondisi ini menjadi tantangan yang luar biasa berat bagi orangtua dalam mendidik anak menjadi anak yang shalih. Padahal, anak yang shalih adalah investasi dunia akhirat. Anak yang shalih adalah aset, bukan hanya aset bagi orangtua melainkan juga aset bagi masyarakat dan bangsa.

Bagi orangtua, anak yang shalih bisa menjadi penolong kelak di akhirat dan doa anak yang shalih akan terus mengalir kepada orangtua meski orangtua telah meninggal. Dalam sebuah hadits qudsy disebutkan sebagai berikut, dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga; hamba itu kemudian berkata, ‘Wahai Rabb, dari mana semua ini?’ Maka Allah berfirman, ‘Dari istighfar anakmu.’ (HR Imam Ahmad).[1]

Isyarat pada hadits qudsi di atas adalah bahwa anak-anak yang beristighfar yang dimaksud tentu bukanlah istighfar yang biasa. Namun istighfarnya anak yang shalih, yang tunduk kepada Rabb-nya, mencintai orangtuanya, baik ketika orangtua masih hidup maupun ketika mereka sudah meninggalkannya.

Pertanyaan yang harus dijawab saat ini adalah, bagaimana menjadikan anak-anak kita menjadi anak yang shalih, yang pandai beristighfar dengan kesadaran dan kemauan mereka sendiri? Bagaimana membangun dan membentuk keluarga yang sakinah (menenteramkan) agar tercipta suasana keluarga yang ideal untuk membentuk anak? Ini adalah tugas dan tanggungjawab berat kita sebagai orangtua yang harus dikerjakan dan dipersiapkan secara baik, serius dan berkelanjutan. Berdasarkan hal ini penulis mengkaji dan membahas bagaimana cara terbaik untuk membentuk dan menjaga anak agar menjadi anak yang shalih.


Langkah-langkah Membangun Keluarga Sakinah

Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk membangun keluarga yang sakinah, yaitu:

1. Memperbaiki Komitmen dan Niat Pernikahan

Bagi yang belum menikah, poin ini sangat penting. Melihat ulang komitmen sebelum menikah akan membantu seseorang untuk merencanakan keluarga yang ideal. Cara yang paling baik untuk meluruskan niat dan memperbaiki komitmen pernikahan adalah niat menikah karena kecintaan kita pada Allah dan Rasul-Nya. Bahwa menikah adalah untuk mengikuti sunnah Rasulullah dan menyempurnakan setengah agamanya, bukan sebab ingin memperbaiki keturunan, kemampuan finansial saja, dan terlebih ingin memuaskan nafsu sesualnya saja.

Bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur menikah tapi niatannya terdahulu hanya bersifat duniawi saja? Poin ini juga penting. Maka antara suami dan istri harus mendiskusikan kembali MoU (memorandum of understanding) atau pokok kesepahaman dalam kerjasama antara suami-istri untuk meluruskan dan membersihkan niat. Perjanjian yang jelas dengan menghadirkan Allah di dalamnya, akan jelas pula apa yang akan dikerjakan suami, apa yang dikerjakan istri dan apa yang mesti dilakukan untuk anak-anak.

Semua tujuannya jelas, keselamatan diri dan keluarga dari siksa neraka. Maka setiap anggota keluarga akan bergerak ke arah yang sama. Masing-masing menjadi rahmat bagi yang lain demi keselamatan dan berkumpulnya kembali keluarganya di surga kelak.

Pernikahan sejatinya adalah untuk mewujudkan keluarga yang sakinah demi mencapai dâr al-salam. Allah berfirman:

Artinya: Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam) [2] (QS Yunus [10]: 25).

Menurut Ibn Katsir, dar al-salam adalah sebutan lain untuk surga Allah (al-jannah).[3] Imam al-Baidhawi juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan dar al-salam adalah rumah yang akan Allah selamatkan siapa saja yang masuk ke dalamnya, yaitu surga Allah.[4]

Perkawinan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga. Perkawinan bukanlah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, melainkan yang utama adalah pemenuhan manusia akan kebutuhan afeksional, yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, dalam rangka mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.[5]


2. Menghadirkan Suasana yang Hangat dan Harmonis Dalam Rumah

Setiap anggota keluarga juga harus memahami bahwa dirinya menjadi rahmat bagi anggota keluarga yang lain. Jika itu dilakukan maka akan tercipta atmosfir yang hangat dan saling mendukung. Kalau pun belum, maka suasana yang hangat di dalam keluarga haruslah diupayakan oleh para orangtua, sebagai media pendidikan kepada anak-anaknya. Allah telah mengajari dan memerintahkan agar kita meminta kepada-Nya,

“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.’” (QS al-Furqân [25]: 74).

Inilah doa yang mesti kita minta secara berkelanjutan dan tak putus sehingga kita senantiasa akan mendapatkan pasangan dan anak-anak yang menyenangkan hati. Beliau juga menyampaikan, doa ini adalah sebagai salah satu bentuk usaha yang wajib untuk diwujudkan. Dalam arti, mewajibkan diri untuk mewujudkan pasangan dan anak-anak yang menyenangkan hati, selain dengan berdoa, di dalamnya terkandung makna bahwa setiap anggota keluarga harus berupaya menjadi rahmat bagi anggota keluarga yang lain sesuai porsi masing-masing.

Untuk menciptakan suasana hangat dan harmonis di dalam rumah antara lain bisa ditempuh dengan beberapa cara. Di antaranya adalah:

Pertama, menanamkan nilai-nilai keimanan (ketauhidan). Hal ini merupakan inti dari ajaran risalah para nabi, inti dari agama Islam. Suatu ketika Ibn Abbas yang saat itu masih kecil, diberi nasihat yang sangat luar biasa oleh Rasulullah. Nabi yang mulia itu memberikan nasihat-nasihat keimanan:

“Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasihat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah, dan apabila engkau menginginkan pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah ditulis oleh Allah di dalam takdirmu. Juga sebaliknya apabila mereka berkumpul untuk mencelakaimu dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (HR. al-Tirmidzi).

Kedua, memberikan keteladanan yang baik secara terus-menerus. Sebaik-baik pembelajaran dan dakwah adalah dengan keteladanan. Istilah yang sering kita kenal adalah dakwah bil-hal, yaitu dengan memberi suri teladan yang baik (uswah hasanah) sesuai ajaran Allah melalui perilakunya sehari-hari dengan tujuan agar orang lain mengikutinya. Keteladanan, jika merujuk kepada hadits Rasulullah terbagi menjadi dua macam, hasanah dansayyi’ah.

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيءٌ وَ مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَامِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ .
“Siapa saja yang membuat sunnah yang baik dalam Islam maka akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan siapa saja yang membuat sunnah yang buruk dalam Islam, dosa itu menjadi tangungannya, demikian pula dosa orang-orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.”
(HR Muslim, dari Jarir ibn Abdullah).

Setiap hari anak melihat, mendengar, merasakan dan tanpa sadar mengikuti apa saja yang dilakukan oleh orangtua mereka. Sehingga tentu saja diperlukan perilaku positif untuk menularkan perilaku baik kepada mereka. Semua orangtua tentu ingin mempunyai anak yang shalih tetapi mereka tidak memberikan keteladan perilaku sebagai orangtua yang shalih kepada anak-anak mereka. Sebagai contoh, ada orangtua yang menginginkan anaknya berjilbab, tetapi para orangtua tersebut lebih suka berpakain ketat. Ada orangtua yang menginginkan anaknya sholat berjama’ah, tetapi orangtua justru jarang shalat. Ada pula orangtua yang ingin anakna rajin dan pandai membaca al-Qur’an, tetapi orangtua tersebut tidak pernah bahkan tidak tahu/bisa membaca al-Qur’an. Maka, para ulama berkata “anda jangan berpikir merubah perilaku anak, tetapi mulailah dengan memperbaiki sikap anda terhadap anak”. Semoga kita di berikan hidayah oleh Allah merubah sikap kita dan pasangan kita menjadi perilaku yang baik, sehingga anak kita pun menjadi generasi yang shalih

Ketiga, menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, Rasululullah dan Islam. Allah berfirman dalam surat Ali Imran [3] ayat 31,

Artinya: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran [3]: 31).

Menurut Ibnu Muhammad Nizamuddin al-Hasan dalam Gharaib al-Qur’ân sebagaimana dikutib oleh Muhammad Abdul Baqi, ayat ini mmenetapkan bahwa setiap orang yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak benar-benar mengikuti Nabi Muhammad dengan mentaati perintah dan menjauhi laranganannya, maka sesungguhnya dia berdusta, sampai dia benar-benar mengikuti Rasulullah.[6]

Keimanan kepada Allah tidak akan menjadi kuat tanpa ada cinta (mahabbah) kepada-Nya. Rasa cinta itu dapat ditumbuhkan melalui pembiasaan. Berikut beberapa langkah menmbuhkan rasa cinta kepada Allah, Rasulullah, dan Islam, antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, membiasakan menyebut (dzikir) Allah dengan membaca tahlil, tahmid, istighfar, dan bacaan-bacaan dzikir lainnya. Kedua, mengajari anak memahami sifat-sifat Allah, baik sifat wajib maupun sifat Jaiz-Nya. Ketiga, mengajari anak bersyukur, baik dalam kondisi senang maupun susah. Keempat, mengaitkan dan menyandarkan semua kebaikan yang terjadi kepada Allah.

Keempat, mencintai dan meneladani Rasulullah. Terkait dengan hal ini telah dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur’an, yaitu:

Artinya: “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzâb [33]: 21).

Adapun upaya untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Rasullah dapat dilakukan dengan beberapa hal, di antaranya: pertama, mengajak anak untuk sering bershalawat kepadanya. Kedua, menceritakan kisah-kisah keteladanan Rasulullah. Ketiga, menceritakan kepada anak-anak betapa mulia diri Rasulullah. Keempat, mengajarkan sunnah-sunnah beliau yang bisa dipraktikkan oleh anak.

Kelima, mencintai Islam dan syariatnya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka. Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS Ali Imran [3]: 19).

“Barangsiapa mencari agama selesain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran [3]: 85).

Dua ayat di atas mengajarkan dan menegaskan kepada kita bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diterima oleh Allah sebagai pedoman. Sebagai keluarga muslim, tentu Islam dan syariat Islam harus dicintai dan diamalkan. Karena mencintai dan mengamalkan syariat Islam dengan benar adalah satu-satunya kunci untuk menyelamatkan keluarga dari akhir yang buruk kelak di akhirat. Upaya untuk menanamkan kecintaan kepada Islam dan syariat Islam harus dilakukan dengan sekuat tenaga, karena saat ini yang terjadi, syariat Islam baik dalam ibadah maupun muamalah telah banyak dilupakan dan dikesampingkan oleh keluarga-keluarga di Indonesia. Para orangtua tidak terlalu khawatir anak-anaknya tidak berjilbab, tetapi mereka santai saja ketika anak-anaknya berpacaran. Banyak orangtua merasa biasa saja ketika anak mengabaikan shalat, tetapi orangtua sangat gundah ketika anak gagal masuk sekolah yang diinginkan. Maka dari itu, seyogyanya para keluarga muslim kembali kepada apa yang seharusnya diperjuangkan, yakni Islam dan syariatnya, agar selamat dari neraka kelak di akhirat.


Ikhtitâm

Terakhir mari kita terus menghiasi setiap helaan nafas kita dengan do’a, kekuatan keyakinan kepada Allah agar kita memiliki keluarga yang sakinah dengan cara meluruskan niat pernikahan dan menghadirkan iklim keluarga yang harmonis berlandaskan Islam dan syariat Islam. Niat pernikahan yang baik dan keluarga yang harmonis berlandaskan syariat akan menjadi modal utama untuk mendidik anak-anak menjadi anak yang shalih. Anak-anak yang shalih adalah kekuatan terbesar yang membuat kita semakin teguh menjalani kehidupan di dunia. Lebih dari itu, anak yang shalih juga merupakan kekuatan terbesar pula yang akan menyelamatkan kita kelak di akhirat.


Marâji’

Al-‘Adawi, Mustafa. 1989. Shahiih al-Musnad Min al-Ahâdits al-Qudsiyyat. Mesir: Dâr al-Shahâbah Li al-Turâts wa al-Nasr wa al-Tauzî’

Al-Baidhawy, Nashiruddin. 2003. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wil, Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.

Al-Nawawi, Abu Zakariyya Yahya ibn Syaraf. 2004. Riyadh al-Shalihin, Bab 19, Hadits 171. Terjemahan Drs. Muslich Shabir, M. Semarang: Toha Putra.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 2011. Tafsir Tematis Ayat-ayat al-Qur’an al-Hakim. Terjemahan KH. Ahmad Sunarto. Surabaya: Halim Jaya.

Hawari, Dadang. 1997. Al Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.

Ibn Katsir, Abu al-Fida’ al-Hafizh. 1980. Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, Juz 2. Mesir: Maktabat al-Nahdah al-Islâmiyah.


[1] Mustafa al-‘Adawi. Shahîhul Musnad min al-Ahâdits al-Qudsiyyat, (Mesir: Dâr al-Shahâbah
Li al-Turâts wa al-Nasr wa al-Tauzî’, 1989), hlm. 198.
[2] Arti kalimat dâr al-salâm adalah tempat yang penuh kedamaian dan keselamatan dengan
pimpinan (hidayah) Allah I berupa akal dan wahyu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
[3] Abu al-Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir. Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, Juz 2. (Mesir: Maktabat al
Nahdah al-Islâmiyah, 1980). hlm. 435
[4] Nashiruddin al-Baidhawy. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wil, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah, 2003). hlm. 433
[5] Dadang Hawari. Al Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana
Bakti Wakaf, 1997). hlm. 78
6] Muhammad Fuad Abdul Baqi. Tafsir Tematis Ayat-ayat al-Qur’an al-Hakim. Terjemahan KH.
Ahmad Sunarto, (Surabaya: Halim Jaya, 2011), hlm. 885

Resonansi Jiwa ==> sekian berbagi kita hari ini, silakan di share ke saudara atau teman-temanmu, semoga kita termasuk yang berilmu dan mengamalkannya Aamiin.... dan yang meng Aamiinkan dikolom komen semoga termasuk didalamnya.

sumber: http://resonansijiwaok.blogspot.co.id/2015/08/tertipu-oleh-kepintaran.html

1 comment: Leave Your Comments